Rabu, 23 November 2011

untold story : Soeharto

Tadi sore setelah istirahat sejenak, saya fb walking aktivitas yang sudah lama tak dilalui. Eh ketemu note seorang ustadz,yang cukup informatif mengenai sesosok pahlawan kita,suharto.
Berikut saya co-pas dari catatan beliau
Nabi Shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda:
“Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan”. (HR. Al-Bukhari no. 6516)
 
Hadis di atas sengaja di pilih karena buku ini mengomentari tentang sosok yang sudah meninggal, mantan presiden RI ke 2. Tentu saja kutipan di atas tidak ada dalam buku Pak Harto : The Untold Stories. Ini sekedar mengingakan kita untuk menghindari mengeluarkan komentar yang tidak berdasar dan tak ada manfaatnya tentang kehidupan beliau.
 
Mengapa ini perlu di garis bawahi, karena penerbitan buku ini merupakan reaksi dari hujatan, makian dan kutukan banyak pihak pada beliau di penghujung hidup dan setelah wafatnya. Tetapi bukan juga hadis tersebut sepadan dengan ajaran jawa yg juga muncul di banyak halaman dalam buku ini : Mikul dhuwur, mendhem jero (Indonesia: "memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam") - jasa seorang pemimpin atau orang tua harus dijunjung tinggi sedangkan kesalahannya harus ditutupi. Sedangkan dalam Islam boleh saja mengungkap keburukan orang yg sudah meninggal asalkan untuk tujuan pembelajaran seperti dimuatnya kisah Firaun, Abu Jahal, saudara-saudaranya Nabi Yusuf, Qorun dll dalam lembaran Qur’an.
 
Saya sebenarnya saat hendak di penjemi buku ini sudah kehilangan antusias untuk membacanya. Yang muncul saat melihat tulisan berjudul Pak Harto adalah goresan kekecewaan : kecewa terhadap asas tunggal pancasila era orde baru yg jelas mengangkangi qur’an-sunnah sebagai pegangan hidup muslim, kecewa terhadap peristiwa pembrangusan pers, penangkapan-penyiksaan para ustadz pada peristiwa tanjung priouk-lampung, aparat keamanan yg menyeramkan dan menggurita, KKN, muak dengan tampang berkuasa yg kelamaan (31 tahun), Korupsi dan ketidak berpihakan terhadap syariah Islam.
 
Barangkali itulah gambaran umum masyarakat yg “belum pernah” bertemu muka, berinterkasi langsung dengan beliau atau bukan bagian dari mesin politik dan kekuasaan beliau.
 
Namun, buku setebal 599 halaman dengan isi penuh gambar beliau ini akhirnya mengalahkan sakwasangka dan habis terbaca juga. Buku yang berisi kurang lebih 113 tokoh memoar orang-orang yg pernah bertatap muka dan berinterkasi dengan beliau ini tak di sangka “menarik” dan pada bagian2  tertentu mampu membuat merinding terbawa arus kesedihan, kegembiraan, kebanggaan, keikhlasan, kasih sayang para tokoh. Dari 113 orang ini juga berlatar belakang yg beragam, mulai dari tokoh negara tetangga seperti Mahathir Muhammad, Lee kuan Yew, Sultan Hasaanh Bolkiah yg menulis sendiri dengan gaya bahasa melayunya, dan Fidel ramos. Juga tentunya anak beliau, keluarga, para ajudan, menteri2, guru, petani, guru ngaji, sampai pengamen. Yang juga menakjubkan adalah ikut sertanya para mantan musuh2 politiknya seperti AM Fatwa yg pernah merasakan remuknya tulang rusuk dan dinginnya lantai penjara, dan beberapa mantan aktivis kampus.
 
Pujian yg Sama
 
113 orang yg terpilih masuk dalam buku ini tentunya sudah melalui tahapan pemilihan oleh keluarga Harto, namun keberagaman orang yg terpelih mampu memberikan penekanan gambaran utuh atau apa adanya suharto. Karena buku ini memoar tentang Suharto yg sudah meninggal maka wajar saja jika di dalamnya hanya menemukan persaksian yg baik2 saja.
 
Dari semua orang yg dalam buku ini kompak mengakui Suharto sosok yg murah senyum, halus tutur katanya. Walaupun pak Harto memiliki latar Belakang sebagai tentara, ia tidak menunjukkan sikap sombong dan kilamat-kalimat yg keras, begitu menurut Mahathir dan tokoh lainnya mengamini hal ini. Suharto memang memiliki senyum yg khas. Kejawaannya menyebabkan ia punya cara sendiri yg halus untuk memperlihatkan ketidak setujuan atau persetujuan.
Kesederhanaan juga banyak memincut banyak orang. Perabot di cendana yg usang dan sederhana yg kalah mewah dibandingkan dengan rumah tokoh2 politik pasca reformasi membuat banyak tamu yg datang berdecak kagum sekaligus hormat. Baju batik yg ia gunakan bukan yg mewah, seragam untuk olah raga golfnya lusuh/belel dan walupun pernah di siasati ajudannya untuk ganti yg baru, malah yg baru di kasih ajudannya dan ia tetap mencari yg belel.
Sikapnya yg berusaha berhemat terlihat saat kunjungan kerja yg menghindari makan di resto mahal dan berlanja ke mal di negara tujuan tidak seperti para anggota DPR saat ini yg suka pelesiran keluar negeri. Dalam kunjungan ke daerahnya yg banyak di lakukan dengan incognito atau diam2 ternyata pernah bekal makannya di siapkan Ibu Tien di bawa dari rumah berupa beras dan ikan asin.
Memahami yg besar sampai yg kecil2. Ia memiliki buku catatan tangan yg rapi berisi peristiwa dan nama2 orang yg pernah ia temua atau jadi perhatiannya. Daya ingatnya pada nama dan perhatian pada informasi rinci membuat orang2 sekitarnya berhutang perhatian, penghargaan, kasih sayang dan dengan mudah memposisikan beliau sebagai orang tua. Ini barang kali manivestasi dari pepatah yg di ajarakan pada anaknya : “Jikalau menolong orang lain, tulislah di atas pasir, supaya mudah hilang tersapu ombak. Tetapi, jikalai kita ditolong orang lain, pahatlah di batu, agar kita selalu dapat mengingat budi orang tersebut.”
Keberanian seorang tentara. Uji nyali ini di kisahkan oleh ajudan beliau Sjafrie Sjamsoedin tahun 1995. Sebelum kunjungan ke Bosni ada pesewat PBB yg ditembaki. Prosedur PBB mengharuskan semua penumpang pesawat menandatangin pernyataan resiko. Suharto langsung tandatangan dan datanya di isi ajudan. Di pesawat dan saat mendarat beliau menolak mengenakan helm dan rompi anti peluru. Saat ditanya Sjafrie mengapa memaksakan diri datang ke zona perang, beliau menjawab karena Indonesia tidak punya uang, sementara sedang menjabat ketua gerakan non-blok, ya hanya dengan mengunjungi bosnia yg bisa dilakukan. Bahaya bisa dikendalikan, dan yg penting orang yg kita kunjungi merasa senang, moril naik, mereka tambah semangat.
Mendekat pada Ilahi di hari2 akhir. Walapun di era kepemimpinannya pernah menggebuk ustadz dan menjadikan P4 sebagai pedoman hidup mengangkangi Qur’an, namun di masa akhir kepemimpinannya ia mulai melonggarkan dengan membolehkan jilbab di sekolah, mendirikan ICMI dan merintis bank Muamalat. Di ruang kerja beliau terpampang sa-sa-sa : sabar atine, saleh pikolahe, sareh tumindake. Artinya selalu sabar, selaluh saleh, taat agama, dan selalu bijaksana dalam bertindak. Prinsip ini pula mungkin yg menyebabkan Pak Harto tidak membalas hinaan, cacian dan fitnah. Menyimak berita2 demo dan komen lawan politiknya di TV atau koran dengan senyum dan gelengan kepala saja. Tidak balik menggunjing.  “Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur), Sing becik ketitik, sing olo ketoro (yg baik akhirnya akan tampak, yg buruk akan erlihat).
 
Kontroversi Naik dan lengser
 
Banyak yg berandai2, jika saja Suharto menolak di angkat kembali jadi presiden periode ke 7 (1998), maka ia bisa menikamati hasil kerjannya lebih damai. Menurut Mien Sugandhi, Ibu tien pernah memintanya untuk menyampaikan pada petinggi Golkar agar janganmencalonkan Suharto kembali : Sudah cukup, sudah cukup, beliau sudah tua.... Aku mau pergi, aku lungo, pokoke aku lungo, kata Bu Tien.
 
Sayang, Harmoko berhasil menyakinkan Harto bahwa hasil temuannya selama kunjungan ke daerah rakyat masih memilih beliau. Ada yg mengatakan, bisa jadi jiwa prajuritnya menyebabkan pernyatan Harmoko itu di anggap sebagai perintah rakyat yg harus di emban.
 
Takdir berkata lain, krisis ekonomi yg bermulai dari Thailand berupa penarikan modal asing besar2an menerpa Indonesia. Membalikkan Indonesia kembali jadi seperti awal kejatuhan orde lama. Rupiah jeblok. Pemerintah mengikuti saja permintaan IMF untuk menghentikan subsidi. Jebakan IMF ini di tengarai Fadlizon sebagai misi utama mereka menggulingkan Harto. Michel Camdessus pernah mengatakan : We created the condition that obliged President Soeharto to leave his job (Kami menciptakan kondisi agar Soeharto meletakan jabatannnya).
 
Pukulan terakhir pada Harto terjadi 10 jam menjelang pengumuman penggantian kabinet. 14 dari 15 menteri dan pembantu2 presiden menyatakan mengundurkan diri dan tidak lagi bersedia membantu Presiden. Dengan sisa waktu tinggal 10 jam lagi, membuat Harto terpojok dan tidak ada pilihan lain selain Ia harus mundur. Ginanjar yg mengumpulkan para menteri untuk membuat pernyataan pengunduran diri di tuduh Ary Marjono (Menteri Negara Agraria saat itu) melakukan fait accompli halus.
 
Ary Marjono menolak ikut tanda tangan karena terkait harga diri. Sebagai mantan tentara ia tidak dapat membiarkan rekannya ditinggal dalam kesulitan sendirian. Saat rapat penandatangan pengunduran diri para menteri itu, Marjono mengajukan pertanyaan : mengapa saat ditelpon presiden untuk ditanyakan kesediaan membantu presiden kita menjawab bersedia, tetapi saat Suharto mendapat kesultan besar kita tidak mau membantu malah meninggalkannnya? Kedua mengapa hanya menko ekuin saja yg mengadakan rapat koordinasi 20 mei 1998 untuk menilai kondisi negara?  Jika Pak Ginanjar memang ingin mundur, mengapa tidak membuat surat pengunduran diri pribadi saja tidak malah mengundah menteri2 yain ikut mundur? Semua pertanyaan tidak dapt di jawab Oleh Ginanjar.
 
Memaafkan 
 
Dalam buku ini, orang yg paling berhak menuntut keadilan bisa jadi AM Fatwa. Namun ternyata, ia adalah lawan politik yg paling rajin menjenguk, mendoakan bahkan mencium kening Suharto saat di terbaring lemah di RS Pertamina. Tindakannya ini langsung mengundang kritik : “Apakah Anda sudah lupa dengan kekejaman Orde Baru, tulang-tulang Anda remuk diinjak sepatu lars?”
 
AM Fatwa pernah mendapat nasihat dari Syafrudin Prawiranegara : “Saudara fatwa, dalam berhadapan dengan lawan politik, sebaiknya kita berasumsi bahwa tidak mungkin lawan kita itu sepenuhnya salah dan sebaliknya pihak kita juga tidak mungkin sepenuhnya benar.”
 
Bagi fatwa, secara prinsip berdasarkan ajaran agama yg dicontohkan oleh Nabi, kita wajib memberikan penghormatan kepada siapa pun yg meninggal, apalagi orang besar seperti pak harto. Saat Sukarno meninggal, lawan2 politiknya dari kalangan Islam ikut mengantarkan jenajah Sukarno.
 
Lantas apakah Sueharto yg terus menerus didera hinaan, hujatan dan fitnah hingga akhir hidupnya memaafkan orang2 yg dulu pernah ia besarkan atau pun anak2 muda yg mengecap pendidikan atas program beliau mau memaafkan? Fatwa dan Quraish Shihab yg di akhir hidupnya sering di panggil untuk mengisi pengajian pernah mengusulkan di adakan rekonsiliasi antar pribadi lawan2 politik Harto. Pak Harto menjawab : “Nanti saja di akhirat ketemunya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar