Selasa, 02 Desember 2014

tarbiyah dzatiyah

Tiada arti sebuah keberhasilan proses tarbiyah rasmiyah (pendidikan formal) tanpa dibarengi kemampuan seorang muttarabby (anak didik) dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai nukhbah (kader) yang dinamis, sensitif dan bijak (hay, hassas, hakim). Cermatilah kecermelangan tarbiyah dzatiyah (pendidikan diri) tokoh-tokoh sejarah berikut.

Keluarga Nabi Ibrahim as

Ummu Ismail tak berhasil mencari jawaban dari Nabi Ibrahim kenapa sang suami tega meninggalkan mereka di lembah tak bertanam, tanpa kerabat dan bekal kecuali sekantung makanan dan minuman untuk hari itu. Maka ia mencoba mencari pertanyaan lain yang mencairkan segala yang beku, membukakan yang buntu, dan memudahkan segala yang mustahil: “Allahkah yang menyuruhmu meninggalkan kami disini? Tanya Ummu Ismail. “Ya,” jawab Ibrahim. “Bila demikian pastilah Ia tak akan menyia-nyiakan kami, sahut Ummu Ismail.
Pada kondisi paling kritis dan dilematis itu, ia berhasil mengambil keputusan terbaik. Padahal sangat manusiawi, bila ia meminta agar Allah melimpahkan bahan makanan. Tapi yang ia lakukan justru berdoa agar keturunannya menegakkan shalat agar sebagian umat manusia mencintai mereka, baru kemudian ia minta agar Allah memberikan mereka rizki buah-buahan (Qs. Ar Ra’d: 37). Ia memang seorang pemimpin visioner.

Atau betapa bijaknya Ismail alaihissalam ketika ayahnya mengungkapkan,

“Aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu.” Ismail menjawab, “Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan temukan daku termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs. Ash Shaffat:102)

Berbeda sekali dengan jawaban Yam bin Nuh yang telah menyaksikan langit pecah menumpahkan air berderai-derai dan bumi membelah mengeluarkan banjir bandang, lalu menjadi panduan ombak yang menggunung. Ternyata, ia masih yakin dapat berlindung ke bukit dan enggan bergabung dengan bapaknya dalam bahtera penyelamat (QS Hud:42-44). Inilah tanda-tanda kegagalan tarbiyah dzatiyah dan dominasi pandangan khas materialisme, yang kurun ini kian merebak.

Nabi Yusuf As

Di tengah paksaan istri pembesar Mesir yang mengajaknya berbuat mesum, Yusuf as menjawab, “Aku berlindung kepada Allah”. Dan ketika istri pembesar Mesir memprovokasi suaminya untuk menjatuhkan hukuman atau memenjarakannya, Yusuf mengajukan pembelaan yang sangat tegas dan polos, “Dia yang merayu diriku”. Hal yang di belakang hari dijawabnya dengan kata-kata yang lebih dewasa dan elegan.
Ketika raja memintanya untuk datang ke istana karena kecermelangan mentakwil mimpi, Yusuf menyuruh sang utusan kembali untuk menanyakan kisah wanita-wanita yang mengiris-iris jari mereka sendiri saatYusuf melintas. Maka ia tak perlu lagi mengatakan, Dia (istri pembesar Mesir) yang merayuku. “Justru istri pembesar Mesir yang semula main penjara dan siksa, kini mengaku bahwa ia yang merayu dan Yusuf menjaga diri.

Para sahabat dan Tarbiyah Dzatiyah

Lembaran sejarah para sahabat juga memberikan bukti keberhasilantarbiyah dzatiyah. Di saat anak-anak bangsa menjadi kolaborator asing dan membenamkan negeri mereka ke kancah kehinaan, Ka’ab bin Malik menjadi contoh paling orisinil bagi kesetiaan, kesabaran, instropeksi diri dan kerendahan hati. Ia tidak tergiur oleh surat rayuan raja Ghassan yang menawarkan suaka politik: “Kudengar bosmu memboikotmu, padahal tak pernah engkau di (perlakukan) hina. Berangkatlah kepadaku, nanti aku santuni (muliakan) engkau.” (HR. Bukhari, Muslim dll.) Dengan cepat ia bakar surat itu, inilah dia bala’ yang sebenarnya,” katanya.
Atau Abu Rabi’, pembantu urusan harian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Melihat kesetiannya, Rasul menawarkan apa kiranya yang diinginkannya. “As’aluka murafataka fi jannah,” (aku meminta untuk tetap dapat menemanimu di dalam surga), pinta Abi Rabi’. “Nah, bantulah aku untuk dapat menolongmu, dengan banyak bersujud, jawab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.. Ia menuntut sesuatu yang jauh di atas nilai-nilai bumi dan sang guru menyiratkan jalan sejati menuju kebahagiaan sejati, suatu ungkapan yang bernuansatarbiyah dzatiyah.

Kegagalan Tarbiyah Dzatiyah

Beberapa episode perjalanan Bani israil bersama Nabi Musa mengatakan kita betapa pentingnya tarbiyah dzatiyah. Mereka tahu kedatangan Nabi Musa untuk misi penyelamatan. Apapun yang mereka alami, kemenangan adalah kepastian. Namun, mereka gagal ( QS. Al A’raf :128-129).
Tenggelamya Fir’aun di laut dan selamatnya Bani Israil dari Fir’aun, tak menyisakan setitikpun keraguan untuk memasuki bumi suci yang dijanjikan (Al Maidah :20). Namun peristiwa itu seperti terjadi tanpa kuasa Allah. Mereka lebih memandang tubuh besar bangsa Amalek (raksasa) yang menduduki Kota Suci daripada jaminan kemenangan dari Allah. Berita tenggalamya Fir’aun yang perkasa adalah kegemparan yang besar yang mampu membuat siapapun lari tunggang langgang menghadapi pengikut Nabi Musa. Namun mereka justru menyampaikan ungkapan dekil yang khas, agar Musa dan Allah berperang diasana, baru setelah itu mereka masuk.
Karenanya, mereka dikutuk. Berputar-putar di padang Tih, 40 tahun tak dapat memasuki kota suci yang dijanjikan. Allah masih memberikan mereka perlindungan berupa awan yang menaungi mereka dari sengatan terik matahari dan makanan instan Manna dan Salwa. Namun, baru beberapa saat mereka sudah protes, “Hai Musa, kami tak bakal sabar menerima satu jenis makanan. Karenanya berdoalah untuk kami kepada Tuhanmu, agar ia mengeluarkan untuk kami tumbuhan bumi”. (QS. Al Baqarah:61). Perhatikan, bahasa apa yang mereka gunakan di hadapan nabi?

Dimana Kita?

Kita adalah satu di antara dua profil berikut. Alkisah, dua pasang belia membangun rumah tangga. Lepas walimah, sang suami pun harus berangkat lagi membina kader-kader dakwah, kerja yang biasa dilakukannya sampai larut malam. Malam panjang tanpa suami pun menderanya, membungkusnya dalam selimut sunyi lalu melemparnya dalam nyala bara yang menghanguskan keindahan hari-hari madu mereka. Perang pun mulai berkecamuk, “Zauji au da’wati? (Istriku atau dakwahku?).
Dengan mantap sang da’i merangkum kata menang: “Adindaku, kita bertemu di jalan dakwah. Allah melimpahkan kebahagiaan kepada kita dengan membimbing langkah kita ke dakwah yang diberkahi-Nya. Haruskah kita meninggalkannya, sesudah kekuatan itu bersatu dan bertambah untuk lebih meningkatkan kontribusi kita bagi dakwah? Jangan kita langgar janji kita kepada-Nya, sehingga keturunan kita kelak akan tercerai-beraikan oleh khianat kita.”
Tahun-tahun dakwah silih berganti. Ketika bayang-bayang kejenuhan dan kepenatan melintas, istri tercintalah yang tak bosan-bosan mengobarkan semangat dakwah dan pantang menyerah. Sampai anak-anak mereka tak punya pikiran menyuruh tamu-tamu menelpon di lain waktu karena ayahnya sedang istirahat. Mereka berlomba membangunkannya. Ia jadi yakin, dakwahlah yang membangunkannya bukan anak-anak yang berkolaborasi dengan tamu dan penelpon yang tak tau etika itu.
Profil yang satu lagi menghadapi hal yang sama, “istriku atau da’wah?” Satu jurus saja ia jatuh. Ketika dievaluasi, ia menangis dan dan bertekad, hujan, guntur dan badai tak boleh lagi menghalanginya dari tugas dakwah. Dan saat ia telah bersiap melaksanakan tekad dan ikrarnya, tiba-tiba terdengar suara sang mertua. “Mertuaku atau dakwahku?” Sekali lagi ia tersungkur.
Tahun-tahun terbilang, kedua profil ini bertemu, yang satu dengan produk dakwah yang penuh berkah yang lain dengan kemurungan, dunia yang membelenggu dan urusan keluarga yang tak kunjung selesai.

Ust. Rahmat Abdullah- Semoga Allah memuliakan beliau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar